Sabtu, 16 Juli 2022

MATERI PELAJARAN ILMU HADIS KELAS XII BAB 1 KEADILAN SAHABAT DAN TABI’IN

 

MATERI PELAJARAN ILMU HADIS KELAS XII BAB 1

KEADILAN SAHABAT DAN TABI’IN

 

Pengantar

Dalam proses penelitian sanad. Penelusuran biografi setiap perawi diperlukan guna menentukan apakah perawi itu cukup untuk memenuhi syarat menerima dan menyampaikan hadis (tahammul dan adā’), dimana proses ini akan menentukan sebuah hadis dikatakan shahih, hasan, atau bahkan dha’if. Nah, apakah peneliti hadis harus meneliti sahabat? Bagaimana? Apakah peneliti harus meneliti tabi‟in? Bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan ini akan diulas di bab ini.

 

Mari Merenung

Abu Hurairah, Sahabat Setia Nabi, Perekam Sunnah - Abu Hurairah, nama sahabat Nabi ini merupakan tokoh masyhur dalam masalah periwayatan hadis. Dia hidup bergaul dengan Nabi saw. Dalam pergaulannya, ia memanfaatkan secara penuh untuk menggali dan merekam persoalan-persoalan agama yang disampaikan Nabi saw. Dilahirkan 19 tahun sebelum Hijrah. Namanya sebelum Islam Abd Syams sedangkan nama Islamnya adalah Abdur Rahman. Berasal dari qabilah ad- usi di Yaman. Gelaran “Abu Hurairah” adalah kerana kegemarannya bermain dengan anak kucing.

Abu Hurairah ra memeluk Islam pada tahun 7 Hijrah. Setelah masuk Islam, pemuda Ad-Dausy ini pergi ke Madinah menemui Nabi dan berkhidmat untuk Rasulullah sepenuh hati. Dia tinggal bersama ahli shuffah di beranda Masjid Nabawi. Tiap waktu dia bisa shalat di belakang Nabi dan mendengarkan pelajaran berharga dari Nabi.

Abu Hurairah mempunyai ibu yang sudah tua dan sangat disayanginya. Dia ingin ibunya memeluk Islam, tapi menolak bahkan mencela Rasulullah saw. Abu Hurairah sangat sedih. ia pergi menemui Rasulullah sambil menangis. “Mengapa engkau menangis, wahai Abu Hirra?” sapa Nabi. Abu Hurairah menjelaskan apa yang menyebabkan hatinya galau, sambil meminta Rasul mendoakan ibunya. Lalu Nabi berdoa agar ibu Abu Hurairah terbuka hatinya untuk menerima Islam. Suatu hari Abu Hurairah menemui ibunya. Sebelum membuka pintu dia mendengar suara gemericik air, kemudian terdengar suara ibunya. “Tunggu di tempatmu, Nak!”. Setelah dipersilakan masuk, Abu Hurairah kaget tatkala ibunya langsung menyambut dengan ucapan dua kalimat syahadat. Alangkah bahagianya Abu Hurairah, keinginannya tercapai. Segera dia kembali menemui Rasulullah. “Dahulu aku menangis karena sedih, sekarang aku menangis karena gembira.”

Sewaktu masih sakit, sebelum meninggal, Abu Hurairah, sahabat Nabi yang mulia ini, sempat menangis. Air matanya meleleh, membasahi janggutnya. Sahabatnya bertanya, mengapa ia menangis? “Aku tak menangis karena dunia, tetapi karena jauhnya perjalanan, sedikitnya perbekalan, dan aku tak tahu ke mana perjalananku ini akan berakhir; ke surga atau neraka?” Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah sesungguhnya aku sangat mencintai pertemuan dengan-Mu. Semoga Engkau juga mencintai pertemuan denganku. Sekiranya Engkau berkenan, kumohon pertemuan ini bisa segera berlangsung.” Tak lama berselang, Abu Hurairah pun pergi, menghadap Allah, meninggalkan alam yang fana ini. (Ibn Rajab, Jami` al-`Ulum wa al-Hikam). Abu Hurairah memang istimewa. Ia bersama Nabi SAW hampir sepanjang hayatnya. Karena tidak terlalu sibuk berbisnis, ia banyak belajar dan menimba ilmu dari Nabi, melebihi sahabat lainnya.

Dikutip dari: http://kisahteladansahabatnabi.blogspot.com/

 

Kata Kunci

-          Keadilan (عَدَالَةٌ) adalah sifat yang menjauhkan diri dari kefasikan dan keburukan dan keruntuhan wibawa.

-          Sahabat (صَحَابَةٌ) adalah seseorang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad dan meninggal dalam keadaan Islam.

-          Tabi’in (تَابِعِيْنَ) adalah seseorang yang pernah bertemu dengan sahabat (tidak pernah bertemu Nabi Muhammad saw.)

-          Jarh (جَرْحٌ) adalah memberikan kritik atas rawi yang dapat menjatuhkan keadilan maupun derajat kemampuan hafalannya.

-          Ta’dil (تَعْدِيْلٌ) adalah memberikan pendapat yang positif kepada rawi dalam rangka menguatkan sifat keadilan dan kemampuan hafalannya

Mari Memahami

Untuk memahami keadilan sahabat Nabi dan tabi‟in, kita perlu mengenal terlebih dahulu siapa yang disebut dengan sahabat Nabi dan tabi‟in. Dua golongan ini merupakan generasi Islam awal yang patut untuk diteladani. Jumlah sahabat Nabi saja tercatat kurang lebih 14.000 orang. Di antara mereka ada yang mendapatkan julukan “yang banyak meriwayatkan hadis” (al-muktsirūn fi al-hadis). Namun apakah semua periwayatan dari sahabat Nabi dan tabi‟in harus diterima seluruhnya?

 

  1. Pengertian Sahabat Nabi dan Tabi’in

Secara etimologi sahabat berasal dari bahasa Arab yaitu shahābah yang merupakan bentuk jamak dari kata Shāhābi yang artinya teman dekat. Mayoritas ulama mendefinisikan sahabat sebagai:

 

Orang yang bertemu Nabi Muhammad saw. dalam keadaan iman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam.

Maka seseorang yang bertemu dengan Nabi Muhammad akan tetapi tidak masuk Islam maka dia tidak disebut dengan sahabat, dan seseorang yang hidup pada masa Nabi Muhammad, dan dia masuk Islam namun tidak pernah bertemu dengan Nabi tetap disebut sebagai sahabat. Hal ini seperti yang dialami oleh Najasi dan Abu Zuayb. Keduanya merupakan penduduk dari luar Madinah yang masuk Islam dan ingin menemui Nabi di Madinah, namun beliau telah meninggal dunia.

Al-Hafiz Ibn Hajar memberikan pengertian bahwa sahabat Nabi adalah, “Orang yang pernah bertemu Nabi dalam keadaan beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam, termasuk di dalamnya orang yang menghadiri majlisnya baik lama maupun sebentar”. Sedangkan al-Jahiz memberikan pengertian sahabat dengan “Orang Islam yang berjumpa dengan Nabi, lama bersahabat dengan Nabi dan meriwayatkan hadis dari beliau” di sini al-Jahiz memberikan batasan dengan lama bersahabat dan meriwayatkan hadis dari beliau saw.

Sedangkan tabi‟in merupakan bentuk jamak dari kata tābi yang berakar dari kata tabia yang berarti berjalan di belakangnya atau mengikuti. Dalam istilah ilmu hadis tabiin adalah:

“Orang yang pernah bertemu dengan sahabat, iman kepada Nabi saw. Dan meninggal dalam keadaan Islam.”

Namun Ibn Katsir membedakan “bertemu”nya sahabat dengan Nabi dan “bertemu”nya tabi’in dengan sahabat Nabi, yang membedakan keduanya adalah sahabat pernah bertemu dengan keagungan wajah Nabi Muhammad saw. namun pengertian tentang tabi’in yang disebutkan di atas merupakan pendapat mayoritas para ulama.

  1. Keadilan Sahabat Nabi dan Tabi’in

Keadilan atau dalam istilah ilmu hadis disebut dengan al-‘adaalah () merupakan salah satu syarat diterimanya sebuah periwayatan hadis. Keadilan di sini adalah sifat yang mendorong seseorang untuk selalu menjaga takwa dan murūah (perwira). Dengan takwa ini maka golongan kafir tidak masuk ke dalamnya. Maka salah satu syarat diterimanya periwayatan hadis adalah periwayat masuk ke dalam Islam. Sedangkan murū’ah selalu menjaga diri dari maksiat, jika seorang perawi bermaksiat maka kualitas keadilannya berkurang, bila ini terjadi maka derajat kesahihan hadis juga berkurang. Bagaimana dengan sahabat Nabi saw dan tabiin?

Mayoritas ulama mengatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil. Hal ini merupakan konsekuensi seorang sahabat yang selalu senantiasa menegakkan nilai-nilai agama dan ber-amar ma’rūf nahi munkar, serta tidak berbohong kepada Rasulullah saw. Imam al-Nawawi mengatakan bahwa pendapat jumhur ulama atas tetapnya keadilan sahabat bersifat mutlak, tidak diperbolehkan seseorang memberikan kritikan kepada para sahabat, karena keadilan mereka sudah ditetapkan dengan nash Al-Qur’an. Imam Al-Gazali mengamini pendapat ini dengan mengatakan bahwa keadilan para sahabat ditegaskan oleh Allah swt sendiri dalam firman-Nya. Oleh karena itu tidak diperlukan lahi ta’dil maupun Jarh atas mereka, mengingat ta’dil dari Allah merupakan ta’dil yang paling valid arena Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui. Pendapat ini diperkuat pula oleh Ibn Shalah bahwasanya keadilan sahabat sudah berdasarkan Al-Quran, sunnah, dan ijmak.

Sedangkan tabiin yang merupakan pengikut dari sahabat. Para ulama juga memberikan komentar tentang tabi’in di antaranya pendapat dari Ibn al-Qayyim al-Jawzy: sesungguhnya fatwa dari atsar al-salaf al-shālih dan fatwa para sahabat lebih utama untuk diambil dari pada pendapat dan fatwa mutaakhkhirin. Karena dekatnya fatwa sangat terkait dengan kedekatan pelakunya dengan masa Rasulullah saw. Maka fatwa-fatwa sahabat lebih didahulukan untuk diambil dari fatwa-fatwa tabi’in dan fatwa dari tabi’in lebih didahulukan dari fatwa tābi’i al-tābi’in (pengikut tabi’in). Ibnu Rajab menambahkan, “Seutama-utamanya ilmu dalam tafsir Al-Qur’an, makna hadis, pembahasan halal dan haram adalah yang ma’tsūr dari para sahabat, tabi’in, dan tābi’i al-tābi’in hingga kepada para imam Islam yang terkenal dan diikuti fatwa-fatwanya”

 

  1. Dalil Keadilan Sahabat Nabi dan Tabi’in

Allah telah memberikan ta’dil tersendiri kepada para sahabat Nabi di antara firman-Nya adalah:

مُّحَمَّدٌۭ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَىٰهُمْ رُكَّعًۭا سُجَّدًۭا يَبْتَغُونَ فَضْلًۭا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًۭا ۖ سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ ٱلسُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِى ٱلْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْـَٔهُۥ فَـَٔازَرَهُۥ فَٱسْتَغْلَظَ فَٱسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعْجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ ٱلْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةًۭ وَأَجْرًا عَظِيمًۢا

Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. [Surat Al-Fath (48) ayat 29]

وَٱلسَّـٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَـٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـٰنٍۢ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. [Surat At-Taubah (9) ayat 100]

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَـٰكُمْ أُمَّةًۭ وَسَطًۭا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًۭا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَـٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌۭ رَّحِيمٌۭ

Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” [Surat Al-Baqarah (2) ayat 143]

Tadil juga datang dari hadis Nabi Muhammad saw.:

عَنْ أَبِيْ بُرْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ صَلَّيْنَا اْلـمُغْرِبُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُلْنَا لَوْ جَلَسْنَا حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَهُ اْلعِشَاءَ قَالَ فَجَلَسْنَا فَخَرَجَ عَلَيْنَا فَقَالَ مَازِلْتُمْ هَاهُنَا قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّيْنَا مَعَكَ الْـمُغْرِبُ ثُمَّ قُلْنَا نَجْلِسُ حَتَّى نُصَلِّيَ مَعَكَ الْعِشَاءَ قَالَ أَحْسَنْتُمْ أًوْ أَصَبْتُمْ قَالَ فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ وَكاَنَ كَثِيْرًا مِمَّا يَرْفَعُ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ النُّجُوْمُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتْ نالنُّجُوْمُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوْعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوْعَدُوْنَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوْعَدُوْنَ

Artinya: “Diriwatkan dari Abi Burdah dari ayahnya berkata kami salat maghrib bersama Rasulullah saw kemudian kami berkata seandainya kita duduk sampai kita salat isyak bersama beliau selanjutnya dia berkata maka kita duduk kemudian beliau saw datang dan bersabda, “Kalian masih di sini” dan kita berkata wahai Rasulullah kami salat magrib bersamamu hingga kami berkata kita duduk sampai kita salat isyak. Beliau berkata, “Bagus” kemudian mengadahkan kepala beliau ke langit karena beliau sering begitu (saat berdoa) dan bersabda, “Bintang-bintang ini merupakan amanah (penjaga, tanda keamana,) bagi langit, apabila bintang-bintang tersebut hilang, maka langit akan tertimpa apa yang telah dijanjikan. Aku adalah amanah (penjaga, tanda keamanan) para sahabatku. Kalau aku sudah tidak ada, maka mereka akan tertimpa apa yang sudah dijanjikan. Dan sahabatku adalah amanah umatku, apabila sahabatku telah tiada, maka umatku pasti akan tertimpa apa yang dijanjikan kepada mereka. (HR. Muslim 4596)

حَدِيْثُ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيْفَهُ

Artinya: “Hadis Abu Said al-Khudri berkata, Nabi saw. bersabda janganlah kalian mencaci para sahabatku. Seandainya seorang di antara kalian menginfakkan emas seberat gunung Uhud, maka belum bisa menyamai satu mud atau separuhnya yang diinfakkan oleh seorang di antara mereka. (Lulu wa al-Marjan)