Jumat, 15 Juli 2022

MATERI PELAJARAN ILMU TAFSIR KELAS XII BAB 1 - ILMU NASIKH DAN MANSUKH

MATERI PELAJARAN ILMU TAFSIR KELAS XII BAB 1

ILMU NASIKH DAN MANSUKH

 

  1. Pengertian Naskh Secara Etimologi

Secara etimologi nasakh merupakan bentuk masdar dari kata kerja nasakha-yansakhu-naskhan yang berarti اْلإِزَالَةُ (menghapus). Dalam Al-Qur’an kata Nasakh memiliki beberapa pengertian, di antaranya adalah al-izālah artinya menghapus, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-ajj [22] 52:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلا نَبِيٍّ إِلا إِذَا تَمَنَّى أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya : Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

 

Nasakh dapat diartikan juga sebagai al-tabdīl (menukar), seperti disebutkan dalam ayat berikut ini:

وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُونَ

Artinya : “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (QS. Al-Naḥl [16] : 101)

Selain itu, al-naskhu juga dapat berarti At-Taḥwīl (التَّحْويِلْ) artinya “mengubah”, selain itu juga dapat diartikan sebagai An-Naql (النقَّلُ) artinya “memindahkan”.

 

  1. Pengertian Naskh secara Terminologi

Menurut al-Zarqāni (w. 1122 H), nasakh secara terminologi memiliki banyak pengertian. Tetapi pengertian yang paling populer dan mendekati kebenaran definisi nasakh adalah:

رَفْعُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ

“Mengangkat (menghapus) hukum syar’i dengan dalil syar’i.”

Berdasarkan definisi nasakh di atas, dapat kita pahami beberapa hal:

  1. Nasakh berlaku pada ayat yang mengandung hukum syari’at tidak pada ayat yang menjelaskan hukum akidah.
  2. Dalil yang menasakh (الناسخ) harus dalil syar’i yaitu Al-Qur’an dan Hadis, bukan dalil aqli (akal).
  3. Dalam nasakh terdapat dua istilah dalil; pertama, dalil hukum syar’i yang menghapus disebut nasikh (الناسخ), kedua, dalil hukum syar’i yang dihapus disebut mansukh (المنسوخ). Perhatikan contoh berikut:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”

 

  1. Syarat Berlakunya Nasakh

Adapun syarat berlakunya naskh mansukh sebagaimana dijelaskan oleh al-Zarqni dalam kitab Manahilu al 'Irfan fi Ulumi al Qur'an adalah sebagai berikut:

  1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syari’at bukan hukum yang berlaku abadi, seperti hukum aqidah
  2. Dalil yang menasakh ( menghapus ) adalah dalil syar’i bukan dalil aqli (akal)
  3. Dalil yang menasakh ( menghapus ) datang setelah dalil hukum yang dihapus (tidak datang secara bersamaan)
  4. Antara dalil yang menasakh ( menghapus ) dan yang mansukh (dihapus) terdapat pertentangan yang tidak dapat dikompromikan.

 

  1. Macam-macam Nasakh

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalil syar’i terdiri dari Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dengan demikian nasakh ada empat macam:

  1.  Nasakh Al-Qur`an dengan Al-Qur’an (نسخ القرءان بالقرءان)

Syeikh Muhammad Khudhari Beik mengatakan bahwa ulama bersepakat tentang adanya nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat hukum syar’i yang dinasakh dengan ayat lain. Perhatikan contoh berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

QS. Al-Mujadilah [58]: 12 di atas memerintahkan orang-orang beriman agar memberi sedekah kepada fakir miskin manakala hendak menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Hukum perintah memberikan sedekah tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

  1. Naskh Al-Qur`an dengan Sunnah (نسخ القرءان بالسنة)

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah. Sebagian ulama mengatakan Al-Qur’an tidak boleh dinasakh dengan Sunnah. Sebab mereka menganggap bahwa kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran agama Islam lebih tinggi dari Sunnah. Sedangkan Sunnah merupakan sumber ajaran agama Islam kedua yang berfungsi sebagai penjelas (al-bayān) Al-Qur’an.

Semetnara kelompok ulama yang lainnya mengatakan bahwa nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah hukumnya boleh. Argumentasi mereka didasarkan kepada pemahaman bahwa Sunnah sama seperti Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. meski redaski Hadis bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Kelompok kedua ini meyakini bahwa praktek nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah terjadi pada QS. Al-Baqarah [2]: 180 tentang kewajiban wasiat kepada orang tua dan kerabat. Menurut pendapat kedua ini ayat tersebut dinasakh dengan hadis:

إِنَّ اللهَ أَعْطَى كَلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ, وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Artinya : Sesungguhnya Allah telah memberikan seseorang sesuai dengan haknya, dan tidak ada wasiah bagi ahli waris” (HR. al-Tirmidzi)

  1. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur`an (نسخ السنة بالقرءان)

Hukum yang ditetapkan dengan dalil Sunnah kemudian dinaskh (dihapus) dengan dalil Al-Qur`an. Contoh: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan salat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama 16 bulan. Kemudian Sunnah ini dinasakh dengan QS. Al-Baqarah [2]: 144;

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Artinya : “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”

  1. Naskh sunnah dengan sunnah (نسخ السنة بالسنة)

Hukum yang ditetapkan dengan Sunnah kemudian dinasakh dengan Sunnah juga. Contohnya: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melarang ziarah kubur. Kemudian hukum larangan tersebut dinasakh menjadi boleh:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا (رَوَاهُ الْبُخَارِي)

Artinya: “Saya pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah kalian”

 

  1. Bentuk-bentuk Nasakh dalam Al-Qur’an
  1. Dari segi bacaan dan hukumnya, ulama mengklasifikasikan nasakh ke dalam tiga bentuk:
  1. Menghapus bacaan dan hukumnya secara bersamaan (نَسْخُ التِّلَاوَةِ وَالْحُكْمِ مَعًا)

Dalam sebuah riwayat yang datangnya dari Aisyah, beliau berkata:

كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْءَانِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتٍ يَحْرُمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ فَتُوَفِّيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْمَا يُقْرَأُ مِنَ اْلقُرْءَانِ

Artinya: “Dahulu termasuk ayat al-Qur`an yang pernah dibbaca adalah sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima susuan yang diketahui. Setelah ayat itu dinasakh Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam wafat.

Imam Malik berkata bahwa sepuluh kali susuan dinasakh dengan lima kali susuan begitu juga bacaannya. Akan tetapi nasakh tersebut terjadi sesaat sebelum nabi wafat. Sehingga sebagian orang masih tetap membacanya. Namun setelah banyak orang tahu bahwa ayat tersebut dinasakh maka mereka tidak membacanya lagi. Sedangkan lima kali susuan hanya dihapus bacaannya, sedangkan hukumnya tetap berlaku.

  1. Mengapus hukum saja sedangkan bacaannya tetap (نَسْخُ الْحُكْمِ دُوْنَ التِّلَاوَةِ)

Seperti hukum wajib bersedekah saat hendak menemui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam QS. Al-Mujadilah [58]: 12

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَـٰجَيْتُمُ ٱلرَّسُولَ فَقَدِّمُوا۟ بَيْنَ يَدَىْ نَجْوَىٰكُمْ صَدَقَةًۭ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ ۚ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13

أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya:Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

  1. Mengapus bacaan sedangkan hukumnya tetap (نَسْخُ الْحُكْمِ دُوْنَ التِّلَاوَةِ)

Contoh bentuk nasakh ketiga ini yaitu:

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهَا الْبَتَّةَ

Artinya: “jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya

Diriwayatkan oleh Ibnu Hazim bahwa Ubay bin Ka’b berkata kepada Zirrin bin Hubaisy, “Saya pernah membaca surah al-Ahzab bersama Rasulullah Saw. seperti jumlah ayat dalam surah al-Baqarah, bahkan lebih banyak lagi. Tetapi kemudian banyak yang dihapus hingga menjadi 73 ayat. Di antara ayat yang dihapus adalah tentang rajam (seperti ayat di atas).

  1. Dilihat dari segi hukum syara’ yang terdapat dalam dalil syar’i, bentuk nasakh dalam Al-Qur’an terbagi menjadi dua;
  1. Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang lebih ringan (النَّسْخُ بِبَدْلٍ أَخَفّ)

Contoh:

Ibnu Jarir al-Thabari berkata bahwa awal mula Islam datang kebanyakan orang berbuka puasa di bulan Ramadhan sampai masuk waktu salat Isya’. Setelah itu mereka diharamkan makan, minum, bersetubuh hingga malam berikutnya. Setelah mereka mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka turunlah surah QS. Al-Baqarah [2] 187 dan menasakh hukum pertama:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌۭ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌۭ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٔـٰنَ بَـٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَـٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَـٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَـٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. [Surat Al-Baqarah (2) ayat 187]

  1. Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang sebanding (النَّسْخُ بِبَدْلٍ مُسَاوٍ)

Contoh:

Hukum solat menghadap ke Baitul Maqdis dihapus (nasakh) dengan QS. Al-Baqarah [2]: 144;

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى ٱلسَّمَآءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةًۭ تَرْضَىٰهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ ۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَـٰبَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَـٰفِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” [Surat Al-Baqarah (2) ayat 144]

  1. Mengapus (nasakh) hukum dengan diganti hukum baru yang lebih berat (النَّسْخُ بِبَدْلٍ أَثْقَلٍّ)

Contoh:

Pada awal mula Islam datang, perempuan yang terbukti berzina ditahan dalam rumah hingga menemui ajalnya. Hukuman penahanan ini terdapat dalam QS. An-Nisa’ [4] ayat 15;

وَٱلَّـٰتِى يَأْتِينَ ٱلْفَـٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمْ فَٱسْتَشْهِدُوا۟ عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةًۭ مِّنكُمْ ۖ فَإِن شَهِدُوا۟ فَأَمْسِكُوهُنَّ فِى ٱلْبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًۭا

Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. [Surat An-Nisa (4) ayat 15]

Dihapus (nasakh) dengan QS. An-Nur [24], 2 tentang hukuman pelaku perzinahan;

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍۢ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌۭ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْـَٔاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌۭ مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” [Surat An-Nur (24) ayat 2]

  1. Mengapus (nasakh) hukum tanpa diganti dengan hukum lain (النَّسْخُ بِلَا بَدَلٍ)

Contoh :

Menghapus hukum perintah bersedekah manakala hendak menemui Nabi Muhammad Saw dalam QS. Al-Mujadilah [58] ayat 12;

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَـٰجَيْتُمُ ٱلرَّسُولَ فَقَدِّمُوا۟ بَيْنَ يَدَىْ نَجْوَىٰكُمْ صَدَقَةًۭ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ ۚ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Surat Al-Mujadilah (58) ayat 12]

Ayat tersebut dinasakh dengan QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya:Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

 

  1. Cara Mengetahui Nasikh dan Mansyukh

Untuk mengetahui nasikh dan mansyukh, al-Zarqni menjelaskan beberapa cara sebagai berikut:

  1. Harus ada keterangan di antara dua dalil yang menunjukkan ketentuan dalil yang datang kemudian, seperti QS. Al-Mujadilah [58]: 13;

أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Ayat di atas me-naskh ayat sebelumnya, yakni QS. Al-Mujadilah [58]: 12;

 

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نَـٰجَيْتُمُ ٱلرَّسُولَ فَقَدِّمُوا۟ بَيْنَ يَدَىْ نَجْوَىٰكُمْ صَدَقَةًۭ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ ۚ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌ

Contoh lain dalam Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam tentang larangan ziarah kubur yang kemudian dinasakh dengan hukum boleh ziarah kubur;

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا (رَوَاهُ الْبُخَارِي)

 

  1. Harus ada ijma' ulama yang menentukan mana dalil yang datang lebih dahulu dan dalil yang datang kemudian.
  2. Harus ada keterangan yang sah yang menjelaskan dalil mana yang datang lebih dahulu dan yang datang kemudian. Keterangan ini harus bersumber dari data yang valid, seperti riwayat sahabat yang mengatakan “ayat ini diturunkan sebelum ayat ini” atau “ayat ini diturunkan setelah ayat itu,” atau dengan redaksi lain yang menjelaskan waktu turun ayat.

 

  1. Hikmah Adanya Nāsikh Mansūkh

Di antara hikmah adanya nāsikh mansūkh adalah sebagai berikut:

  1. Meneguhkan keyakinan bahwa Allah tidak akan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Allah telah menunjukkan bahwa kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan kehendak manusia. Sehingga diharapkan dari keberadaan nāsikh dan mansūkh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah, bahwa Dia-lah yang Maha menentukan.
  2. Kita semakin yakin bahwa Allah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nāsikh dan mansūkh tersebut semuanya untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia.
  3. Mengetahui proses tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta ‘illatul ḥukmi (alasan ditetapkannya suatu hukum).
  4. Mengetahui perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam.
  5. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
  6. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

SELESAI MATERI ILMU TAFSIR KELAS 12 BAB 1 SEMOGA ILMUNYA BERMANFAAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar