EPISTEMOLOGI
ISLAM MENURUT AL-JABIRI
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Filsafat Islam
Dosen
Pengampu : Miftahul Ula, M.Ag
Kelas
: M Reguler Sore
Disusun
oleh :
Reni Khoriyah Ulfa 2021214485
M.Yusuf Azhari 2021214486
Syafa’atul Udzma 2021214488
JURUSAN
TARBIYAH PRODI PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut kebanyak filsuf, berfilsafat adalah sunah
Nabi Muhammad SAW dalam berfikir. Mengingat kewajiban umat islam yang banyak
diungkangkan di Al-Qur’an sebagai isyarat untuk berfikir dan merenung yang
merupakan ciri-ciri orang yang beriman.
Dalam kesempatan kali ini pemakalah
mendapat tugas untuk membahas tentang ajaran filsafat Muhammad Abid Al-Jabiri
tentang epistemologi islam yaitu epistemologi bayani, epistemologi burhani, dan
epistemologi irfani. Dalam filsafat untuk mendapatkan suatu ilmu pengetahuan
maka menggunakan metode burhani. Walau demikian ke tiga epistemologi tersebut
termasuk kajian dalam mata kuliah filsafat islam. Oleh karena itu pemakalah
akan membahas ketiganya.
Semoga dengan
ditulisnya makalah ini dapat membuat kita lebih memahami dan mengerti tentang
epistemologi islam yang diajarkan Muhammad ‘Abid Al-Jabiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
biografi tentang Muhammad ‘Abid Al-Jabiri?
2. Bagaimana
tentang pengertian, perkembangan, dan metode epistemologi bayani?
3. Bagaimana
tentang pengertian, perkembangan, dan metode epistemologi burhani?
4. Bagaimana
tentang pengertian, perkembangan, dan metode epistemologi irfani?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas tentang Biografi Al-Jabiri
Nama lengkap Al-Jabiri adalah Muhammad
‘Abid Al Jabiri. Beliau lahir di Figuig, Maroko Tenggara, tahun 1936. Beliau
adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas
Muhammad V, Rabat, Maroko. Beliau pertama kali masuk sekolah agama, kemudian
sekolah swasta nasional (madrasah hurrah wathaniah) yang didirikan oleh gerakan
kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953, beliau belajar disekolah lanjutan setingkat
dengan SMA milik pemerintahan Casablanca.[1]
Seiring dengan kemerdekaan Maroko,
beliau melanjutkan pendidikan sekolah tingginya setingkat diploma pada
Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu Pengetahuan (science section).
Pada tahun 1959 Al-Jabiri memulai studi filsafat di Universitas Damaskus,
Syria, tetapi satu tahun kemudian beliau masuk di Universitas Rabat yang baru
didirikan. Pada tahun 1967 beliau menyelesaikan ujian Negara dengan tesisnya
yang berjudul, “The Philosophy of History of Ibn Khaldun” , (filsafat
al-tarikh ‘inda Ibn Khaldun dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi) dan
menyelesaikan program doktornya pada almamater yang sama pada tahun 1970,
dengan disertasi berjudul “Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa
ad-Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi at-Tarikh al-Islami”
(Pemikiran Ibn Khaldun. Asabiyah dan Negara: Rambu-Rambu Paradigmatik Pemikiran
Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam).[2]
B. Epistemologi Bayani
1. Pengertian Bayani
Menurut bahasa bayani
berasal dari bahasa arab yang artinya penjelasan. Dalam kamus lisan al-‘arab
karya Ibnu Mandzur arti bayan (بيان) sebagai
al-fashl wa infishal
(الفصل
والإنفصال) artinya memisahkan dan
terpisah. Bayan juga berarti al-dhuhur wa al-idhar (الظهوروالإظهار)
artinya jelas dan penjelasan.[3]
Sedangkan secara
istilah bayani adalah metode pemikiran khas arab yang menekankan otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal
kebebasan yang digali lewat inferensi (istidlal). Secara langsung
maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran. Sedangkan secara tidak langsung
maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran.[4]
2. Perkembangan Bayani
Pengertian
tentang bayani dan metodenya berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran
islam. Pada masa
Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung
persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke furu’ (cabang). Dari segi
metodologi, Syafi’i membagi bayani dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu:
1) Bayan yang
tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan
Tuhan dalam al Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya.
2) Bayan yang
beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
3) Bayan yang
keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
4) Bayan sunnah
sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an.
5) Bayan
Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al
Qur’an maupun sunnah.
Dari lima derajat bayani tersebut, Syafi’i kemudian
menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas, kemudian
ditambah Ijma’.[5]
3. Metode Bayani
Untuk
mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama
berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua,
menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas:
1)
al-Ashl (الأصل)
yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran
2)
al-Far’(الفرع)
yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
3)
hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang
diberikan oleh ashl.
4)
Illah (علة) yakni keadaan tertentu yang dipakai sebagai
dasar ketetapan hukum Ashl.[6]
C. Epistemologi Burhani
1. Pengertian Burhani
Dalam bahasa Arab burhan (برهان)
berarti argumen yang jelas. Bahasa latinnya berarti demonstration yang berarti al-isyarah
(isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-bayan (penjelasan), al-idzhar (menampakkam). Secara umum ia
berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu.[7]
Secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berfikir untuk
menetapkan kebenaran proposisi (qadhiyah) melalui penedekatan deduktif
(al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain
yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi)[8]
Epistemologi burhani
menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal, yang dilakukan lewat
dalil-dalil logika. Prinsip-prinsip logis inilah yang menjadi acuan sehingga
dalil-dalil agama sekalipun hanya dapat diterima sepanjang sesuai dengan
prinsip ini.[9]
2. Perkembangan Burhani
Prinsip-prinsip logis yang digunakan
dalam burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan
istilah metode analitik (tahlili) yaitu suatu cara berfikir yang
didasarkan atas proposisi tertentu.[10]
Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan
istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama
menjadi Burhani.[11]
Sistem pemikiran Aristoteles terpecah menjadi dua aliran. Madzhab
Iskandariyah yaitu aliran yang tetap konsisten dan berusaha menjaga filsafat
Aristoteles secara bersih dan murni. Sedangkan Madzhab Athenian (Helenisme)
adalah aliran yang mencoba menggabungkan pemikiran filsafat Aristoteles dengan
pemikiran lainnya, khususnya Plato dan banyak mengajarkan filsafat
neo-platonisme yang dibangun oleh Plotinus. Cara berfikir analitik Aristoteles masuk
ke dalam pemikiran Islam pertama kali lewat progam penerjemahan buku-buku
filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Khalifah Al-Makmun. Progam
ini dianggap sebagai tonggak penting sejarah pertemuan pemikiran epistemologi
burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.[12]
Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode Burhani adalah Al-Kindi
dalam kitab al-Falsafat al-Ula. Namun, karena masih dominannya kaum bayani dan
minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode Burhani ini
semakin berkembang dan menjadi salah satu sistem pemikiran Islam Arab pada masa
Al-Razi.[13]
Metode Burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran
islam karena diperkuat oleh Al-Farabi. Beliau seorang filsuf muslim yang
disebut sebagai Guru Kedua (setelah Aristoteles sebagai Guru Pertama) karena
jasa dan pengaruhnya yang besar dalam filsafat islam yang menempatkan metode
burhani sebagai metode yang paling baik dan unggul. Sehingga ilmu-ilmu filsafat
yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding
ilmu-ilmu agama.[14]
Perkembangan selanjutnya metode burhani tidak hanya dipakai oleh filsuf
saja, tetapi juga dipakai oleh kalangan fuqaha seperti Al-Jahizh dan
Asy-Syathibi, kalangan sufi falsafi seperti Suhrawardi dan Ibnu Arabi. Bahkan
oleh kalangan yang menolak filsafat seperti Al-Ghazali.[15]
3. Metode Burhani
Metode utama yang digunakan dalam epistemologi
burhani adalah silogisme. Dalam bahasa arab silogisme diterjemahkan dengan
qiyas al-jami’ yang mengacu pada makna asal mengumpulkan. Secara istilah,
silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua proposisi yang disebut
premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa sehingga sebuah keputusan (konklusi)
pasti menyertai.[16]
Menurut Al-Jabiri, mengikuti Aristoteles, penarikan
kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1) mengetahui
latar belakang dari penyusunan premis
2) adanya
konsistensi logis antara alasan dan keismpulan,
3) kesimpulan
yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan
kebenaran atau kepastian lain.[17]
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan
premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah
premis yang memberi keyakinan, menyakinkan.[18]
Suatu premis
bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat yaitu :
1) kepercayaan
bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik
2) kepercayaan
bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya
3) kepercayaan
bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.[19]
D. Epistemologi Irfani
1. Pengertian Irfani
Secara bahasa
irfani berarti pengetahuan. Irfani berasal dari akar kata yang sama dengan
ma’rifat (معرفة), arafa(عرف). Dalam tasawuf kata ma’rifah digunakan untuk menununjukkan
model pengetahuan tertinggi yang ditiupkan ke dalam sanubari (intuisi)
seseorang dengan mekanisme ilham sebagai sumber otoritatif pengetahuan.[20]
Sedangkan secara
istilah irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran oleh tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya riyadhah yang
dilakukan atas dasar cinta. Adapun dalam istilah Yunani irfani disebut gnosis
yang berarti ma’rifah (pengetahuan), ilm dan hikmah.[21]
2. Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum
dibagi dalam lima fase yaitu:
1)
Fase Pembibitan (abad pertama
hijriyah)
Pada fase
ini perkembangan irfani ditandai dalam bentuk prilaku zuhud dilakukan atas
dasar takut dan mengharap pahala.
2)
Fase Kelahiran (abad kedua hijriyah)
Melalui Robiah
Al Adawiyah (801 M) dalam periode ini, zuhud dilakukan atas dasar cinta pada
Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
3)
Fase Pertumbuhan (abad 3-4 H)
Para tokoh
sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan
tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlak).
4)
Fase Puncak (abad ke-5 H)
Pada periode
ini Irfan mencapai masa gemilang. Irfani menjadi jalan yang jelas karakternya
untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
5)
Fase Spesikasi (abad 6-7 H)
Berkat pengaruh
Al Ghozali yang besar, irfani menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam
masyarakat islami. Pada fase ini, secara epistemologi, irfani telah terpecah
dalam dua aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoristis.
6)
Fase kemunduran (abad ke-8 H)
Sejak abad
itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan mengalami kemunduran.[22]
3. Metode Irfani
Pengetahuan irfan didasarkan pada
kasyf yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani hanya dapat diperoleh dengan olah ruhani, dimana dengan
kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis.
Pengetahuan irfani setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan yaitu
1)
Persiapan
Untuk bisa
menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan spiritual. Ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah
menuju puncak antaara lain
a)
Taubat
b)
Wara’ (menjauhkan diri dari segala
sesuatu yang subhat)
c)
Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan
kehidupan dunia)
d)
Faqir (mengosongkan seluruh fikiran
dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT)
e)
Sabar (menerima segala bencana
dengan laku sopan dan rela)
f)
Tawakkal (percaya atas segala apa
yang ditentukan-Nya)
g)
Ridla (hilangnya rasa
ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita)
2)
Penerimaan
Jika telah
mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang
akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga
dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah)
sebagai objek yang diketahui.
3)
Pengungkapan dengan lisan atau
tulisan.
Pengalaman
mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau
tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri
dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak
semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[23]
BAB III
KESIMPULAN
Muhammad ‘Abid
Al-Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra,
Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Beliau terkenal
dengan ajarannya tentang kritik nalar arab-islam yang kita kenal dengan istilah
epistemologi yang terbagi dalam tiga bagian yaitu bayani, burhani, dan irfani.
Epistemologi bayani
adalah metode pemikiran khas arab yang menekankan otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebebasan yang
digali lewat inferensi (istidlal). Menurut Syafi’i ada
tiga pokok sumber bayani yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas, kemudian ditambah
Ijma’. Ada dua metode bayani yang ditempuh untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama
berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua,
menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
Secara sederhana, burhani bisa
diartikan sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi
(qadhiyah) melalui penedekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan
proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya
secara aksiomatik (badhihi). Pertumbuhandan perkembangan burhani
berasal dari penerjemahan buku-buku filsafat Yunani. Metode utama yang
digunakan dalam epistemologi burhani adalah silogisme.
Secara istilah irfani
adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran oleh tuhan
kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya riyadhah yang dilakukan atas dasar
cinta. Adapun dalam istilah Yunani irfani disebut gnosis yang berarti ma’rifah
(pengetahuan), ilm dan hikmah. Ada enam fase perkembangan irfani fase pembibitan,
fase kelahiran, fase pertumbuhan, fase puncak, fase spesikasi, dan fase kemunduran. Ada tiga tahapan dalam metode
irfani yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Ma’rufi, Moh. Zaki. 2010. “Reformulasi Pemikiran
Arab-Islam Perspektif Muhammad Al-Jabiri”. Depok : Skripsi Sarjana Humaniora,
Universitas Indonesia.
Soleh, Khudori. 2014. Filsafat Islam
: Dari Klasik Hingga Kotemporer. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Yanti, Syafieh. 2013.
“Epistemologi
Islam Muhammad Abid Al-Jabiri”.
Dalam http://syafieh.blogspot.com/2013/03/epistemologi-islam-muhammad-abid-al.html#ixzz2gwXO6phf.
(28 Maret 2013). Diakses 10 Desember 2015.
[1] Syafieh
Yanti. “Epistemologi
Islam Muhammad Abid Al-Jabiri”. http://syafieh.blogspot.com/2013/03/epistemologi-islam-muhammad-abid-al.html#ixzz2gwXO6phf.
(28 Maret 2013). Diakses 10 Desember 2015
[2] Ibid.
[3] Khudori Soleh, Filsafat Islam
: Dari Klasik Hingga Kotemporer (Yogyakarta
: Ar-Ruzz Media, 2014) Cet.Ke-2, Hlm. 237-238
[4] Ibid. Hlm. 237
[6] Ibid. Hlm. 248
[7] Syafieh Yanti. Op.Cit.
[8] Ibid. Hlm 275
[9] Ibid. Hlm 275
[10] Khudori Soleh. Op.Cit.
Hlm 275
[11] Syafieh Yanti. Op.Cit.
[12] Khudori Soleh. Op.Cit.
Hlm 276-277
[13] Ibid. Hlm 277
[14] Ibid. Hlm 278
[15] Ibid. Hlm 279
[16] Ibid. Hlm 280
[17] Ibid. Hlm 280
[18] Syafieh Yanti. Op.Cit.
[19] Khudori Soleh. Op.Cit.
Hlm 282
[20] Moh. Zaki Ma’rufi, “Reformulasi
Pemikiran Arab-Islam Perspektif Muhammad Al-Jabiri” (Depok : Skripsi Sarjana
Humaniora, Universitas Indonesia , 2010), Hlm. 34-35
[21] Ibid. Hlm. 35
[22] Syafieh Yanti. Op.Cit.
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar