Jumat, 09 Desember 2016

Epistemologi Islam Menurut Al Jabiri



EPISTEMOLOGI ISLAM MENURUT AL-JABIRI


Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Miftahul Ula, M.Ag
Kelas : M Reguler Sore 

logo stain.png

Disusun oleh :
Reni Khoriyah Ulfa    2021214485
M.Yusuf Azhari         2021214486
Syafa’atul Udzma      2021214488

JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Menurut kebanyak filsuf, berfilsafat adalah sunah Nabi Muhammad SAW dalam berfikir. Mengingat kewajiban umat islam yang banyak diungkangkan di Al-Qur’an sebagai isyarat untuk berfikir dan merenung yang merupakan ciri-ciri orang yang beriman.
            Dalam kesempatan kali ini pemakalah mendapat tugas untuk membahas tentang ajaran filsafat Muhammad Abid Al-Jabiri tentang epistemologi islam yaitu epistemologi bayani, epistemologi burhani, dan epistemologi irfani. Dalam filsafat untuk mendapatkan suatu ilmu pengetahuan maka menggunakan metode burhani. Walau demikian ke tiga epistemologi tersebut termasuk kajian dalam mata kuliah filsafat islam. Oleh karena itu pemakalah akan membahas ketiganya.
            Semoga dengan ditulisnya makalah ini dapat membuat kita lebih memahami dan mengerti tentang epistemologi islam yang diajarkan Muhammad ‘Abid Al-Jabiri.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi tentang Muhammad ‘Abid Al-Jabiri?
2.    Bagaimana tentang pengertian, perkembangan, dan metode epistemologi bayani?
3.    Bagaimana tentang pengertian, perkembangan, dan metode epistemologi burhani?
4.    Bagaimana tentang pengertian, perkembangan, dan metode epistemologi irfani?




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sekilas tentang Biografi Al-Jabiri
Nama lengkap Al-Jabiri adalah Muhammad ‘Abid Al Jabiri. Beliau lahir di Figuig, Maroko Tenggara, tahun 1936. Beliau adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Beliau pertama kali masuk sekolah agama, kemudian sekolah swasta nasional (madrasah hurrah wathaniah) yang didirikan oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953, beliau belajar disekolah lanjutan setingkat dengan SMA milik pemerintahan Casablanca.[1]
Seiring dengan kemerdekaan Maroko, beliau melanjutkan pendidikan  sekolah tingginya setingkat diploma pada Sekolah Tinggi Arab dalam bidang Ilmu Pengetahuan (science section). Pada tahun 1959 Al-Jabiri memulai studi filsafat di Universitas Damaskus, Syria, tetapi satu tahun kemudian beliau masuk di Universitas Rabat yang baru didirikan. Pada tahun 1967 beliau menyelesaikan ujian Negara dengan tesisnya yang berjudul, “The Philosophy of History of Ibn Khaldun” , (filsafat al-tarikh ‘inda Ibn Khaldun dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi) dan menyelesaikan program doktornya pada almamater yang sama pada tahun 1970,  dengan disertasi berjudul “Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa ad-Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi at-Tarikh al-Islami” (Pemikiran Ibn Khaldun. Asabiyah dan Negara: Rambu-Rambu Paradigmatik Pemikiran Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam).[2]

B.  Epistemologi Bayani
1.    Pengertian Bayani
Menurut bahasa bayani berasal dari bahasa arab yang artinya penjelasan. Dalam kamus lisan al-‘arab karya Ibnu Mandzur arti bayan (بيان) sebagai al-fashl wa infishal (الفصل والإنفصال) artinya memisahkan dan terpisah. Bayan juga berarti al-dhuhur wa al-idhar (الظهوروالإظهار) artinya jelas dan penjelasan.[3]
Sedangkan secara istilah bayani adalah metode pemikiran khas arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebebasan yang digali lewat inferensi (istidlal). Secara langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran. Sedangkan secara tidak langsung maksudnya memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.[4]
2.    Perkembangan Bayani
Pengertian tentang bayani dan metodenya berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran islam. Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushul (pokok) dan yang berkembang hingga ke furu’ (cabang). Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayani dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu:
1)   Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya.
2)   Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
3)   Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
4)   Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an.
5)   Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an maupun sunnah.
Dari lima derajat bayani tersebut, Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas, kemudian ditambah Ijma’.[5]
3.    Metode Bayani
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas:
1)   al-Ashl (الأصل) yakni nash suci yang memberikan hukum dan dipakai sebagai ukuran
2)   al-Far’(الفرع) yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash.
3)   hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl.
4)   Illah (علة) yakni keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl.[6]

C.  Epistemologi Burhani
1.    Pengertian Burhani
Dalam bahasa Arab burhan (برهان) berarti argumen yang jelas. Bahasa latinnya berarti demonstration yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-bayan (penjelasan),  al-idzhar (menampakkam). Secara umum ia berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu.[7] Secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadhiyah) melalui penedekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi)[8]
Epistemologi burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Prinsip-prinsip logis inilah yang menjadi acuan sehingga dalil-dalil agama sekalipun hanya dapat diterima sepanjang sesuai dengan prinsip ini.[9]
2.    Perkembangan Burhani
Prinsip-prinsip logis yang digunakan dalam burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan istilah metode analitik (tahlili) yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu.[10] Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles, digunakan istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi Burhani.[11]
Sistem pemikiran Aristoteles terpecah menjadi dua aliran. Madzhab Iskandariyah yaitu aliran yang tetap konsisten dan berusaha menjaga filsafat Aristoteles secara bersih dan murni. Sedangkan Madzhab Athenian (Helenisme) adalah aliran yang mencoba menggabungkan pemikiran filsafat Aristoteles dengan pemikiran lainnya, khususnya Plato dan banyak mengajarkan filsafat neo-platonisme yang dibangun oleh Plotinus. Cara berfikir analitik Aristoteles masuk ke dalam pemikiran Islam pertama kali lewat progam penerjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan Khalifah Al-Makmun. Progam ini dianggap sebagai tonggak penting sejarah pertemuan pemikiran epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab.[12]
Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode Burhani adalah Al-Kindi dalam kitab al-Falsafat al-Ula. Namun, karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode Burhani ini semakin berkembang dan menjadi salah satu sistem pemikiran Islam Arab pada masa Al-Razi.[13]
Metode Burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam sistem pemikiran islam karena diperkuat oleh Al-Farabi. Beliau seorang filsuf muslim yang disebut sebagai Guru Kedua (setelah Aristoteles sebagai Guru Pertama) karena jasa dan pengaruhnya yang besar dalam filsafat islam yang menempatkan metode burhani sebagai metode yang paling baik dan unggul. Sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama.[14]
Perkembangan selanjutnya metode burhani tidak hanya dipakai oleh filsuf saja, tetapi juga dipakai oleh kalangan fuqaha seperti Al-Jahizh dan Asy-Syathibi, kalangan sufi falsafi seperti Suhrawardi dan Ibnu Arabi. Bahkan oleh kalangan yang menolak filsafat seperti Al-Ghazali.[15]
3.    Metode Burhani
Metode utama yang digunakan dalam epistemologi burhani adalah silogisme. Dalam bahasa arab silogisme diterjemahkan dengan qiyas al-jami’ yang mengacu pada makna asal mengumpulkan. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen di mana dua proposisi yang disebut premis, dirujukkan bersama sedemikian rupa sehingga sebuah keputusan (konklusi) pasti menyertai.[16]
Menurut Al-Jabiri, mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1)   mengetahui latar belakang dari penyusunan premis
2)   adanya konsistensi logis antara alasan dan keismpulan,
3)   kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.[17]
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, menyakinkan.[18] Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat yaitu :
1)   kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik
2)   kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya
3)   kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.[19]

D.  Epistemologi Irfani
1.    Pengertian Irfani
Secara bahasa irfani berarti pengetahuan. Irfani berasal dari akar kata yang sama dengan ma’rifat (معرفة), arafa(عرف). Dalam tasawuf kata ma’rifah digunakan untuk menununjukkan model pengetahuan tertinggi yang ditiupkan ke dalam sanubari (intuisi) seseorang dengan mekanisme ilham sebagai sumber otoritatif pengetahuan.[20]
Sedangkan secara istilah irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran oleh tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya riyadhah yang dilakukan atas dasar cinta. Adapun dalam istilah Yunani irfani disebut gnosis yang berarti ma’rifah (pengetahuan), ilm dan hikmah.[21]
2.    Perkembangan Irfani
Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam lima fase yaitu:
1)   Fase Pembibitan (abad pertama hijriyah)
Pada fase ini perkembangan irfani ditandai dalam bentuk prilaku zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala.
2)   Fase Kelahiran (abad kedua hijriyah)
Melalui Robiah Al Adawiyah (801 M) dalam periode ini, zuhud dilakukan atas dasar cinta pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
3)   Fase Pertumbuhan (abad 3-4 H)
Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (akhlak).
4)   Fase Puncak (abad ke-5 H)
Pada periode ini Irfan mencapai masa gemilang. Irfani menjadi jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.
5)   Fase Spesikasi (abad 6-7 H)
Berkat pengaruh Al Ghozali yang besar, irfani menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat islami. Pada fase ini, secara epistemologi, irfani telah terpecah dalam dua aliran yaitu irfan sunni dan irfan teoristis.
6)   Fase kemunduran (abad ke-8 H)
Sejak abad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan mengalami kemunduran.[22]
3.    Metode Irfani
Pengetahuan irfan didasarkan pada kasyf yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani hanya dapat diperoleh dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis.
Pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu
1)   Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak antaara lain
a)    Taubat
b)   Wara’ (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat)
c)    Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia)
d)   Faqir (mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT)
e)    Sabar (menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela)
f)    Tawakkal (percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya)
g)   Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita)
2)   Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui.
3)   Pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
Pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[23]













BAB III
KESIMPULAN

Muhammad ‘Abid Al-Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakultas Sastra, Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko. Beliau terkenal dengan ajarannya tentang kritik nalar arab-islam yang kita kenal dengan istilah epistemologi yang terbagi dalam tiga bagian yaitu bayani, burhani, dan irfani.
Epistemologi bayani adalah metode pemikiran khas arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebebasan yang digali lewat inferensi (istidlal). Menurut Syafi’i ada tiga pokok sumber bayani yaitu al-Qur’an, as-Sunnah dan Qiyas, kemudian ditambah Ijma’. Ada dua metode bayani yang ditempuh untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
Secara sederhana, burhani bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berfikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadhiyah) melalui penedekatan deduktif (al-istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain yang telah terbukti kebenarannya secara aksiomatik (badhihi). Pertumbuhandan perkembangan burhani berasal dari penerjemahan buku-buku filsafat Yunani. Metode utama yang digunakan dalam epistemologi burhani adalah silogisme.
Secara istilah irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran oleh tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya riyadhah yang dilakukan atas dasar cinta. Adapun dalam istilah Yunani irfani disebut gnosis yang berarti ma’rifah (pengetahuan), ilm dan hikmah. Ada enam fase perkembangan irfani fase pembibitan, fase kelahiran, fase pertumbuhan, fase puncak, fase spesikasi, dan  fase kemunduran. Ada tiga tahapan dalam metode irfani yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan dengan lisan atau tulisan.



DAFTAR PUSTAKA

Ma’rufi, Moh. Zaki. 2010. “Reformulasi Pemikiran Arab-Islam Perspektif Muhammad Al-Jabiri”. Depok : Skripsi Sarjana Humaniora, Universitas Indonesia.
Soleh, Khudori. 2014. Filsafat Islam : Dari Klasik Hingga Kotemporer. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.
Yanti, Syafieh. 2013.Epistemologi Islam Muhammad Abid Al-Jabiri”. Dalam http://syafieh.blogspot.com/2013/03/epistemologi-islam-muhammad-abid-al.html#ixzz2gwXO6phf. (28 Maret 2013). Diakses 10 Desember 2015.



[1] Syafieh Yanti. “Epistemologi Islam Muhammad Abid Al-Jabiri”. http://syafieh.blogspot.com/2013/03/epistemologi-islam-muhammad-abid-al.html#ixzz2gwXO6phf. (28 Maret 2013). Diakses 10 Desember 2015
[2] Ibid.
[3] Khudori Soleh, Filsafat Islam : Dari Klasik Hingga Kotemporer  (Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2014) Cet.Ke-2, Hlm. 237-238
[4] Ibid. Hlm. 237
[5] Ibid. Hlm. 238-239
[6] Ibid. Hlm. 248
[7] Syafieh Yanti. Op.Cit.
[8] Ibid. Hlm 275
[9] Ibid. Hlm 275
[10] Khudori Soleh. Op.Cit. Hlm 275
[11] Syafieh Yanti. Op.Cit.
[12] Khudori Soleh. Op.Cit. Hlm 276-277
[13] Ibid. Hlm 277
[14] Ibid. Hlm 278
[15] Ibid. Hlm 279
[16] Ibid. Hlm 280
[17] Ibid. Hlm 280
[18] Syafieh Yanti. Op.Cit.
[19] Khudori Soleh. Op.Cit. Hlm 282
[20] Moh. Zaki Ma’rufi, “Reformulasi Pemikiran Arab-Islam Perspektif Muhammad Al-Jabiri” (Depok : Skripsi Sarjana Humaniora, Universitas Indonesia , 2010), Hlm. 34-35
[21] Ibid. Hlm. 35
[22] Syafieh Yanti. Op.Cit.                                                
[23] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar