Jumat, 09 Desember 2016

Pemikiran Abdul Karim Al Jabiri tentang Insan Kamil



PEMIKIRAN ABD AL-KARIM AL-JILLI TENTANG INSAN KAMIL


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Amat Zuhri, M.Ag
Kelas : M Reguler Sore

logo stain.png

Disusun oleh:
Kelompok 9
Kikki Faradila Putri         2021214470
Wahyudin                        2021214477
Sumiyati Karim               2021214483
M. Yusuf Azhari             2021214486


JURUSAN TARBIYAH PRODI PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
 


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pengertian tasawuf dalam terminologi sangat beragam. Keberagaman pengertian tasawuf tersebut dikarenakan pengertian yang dikemukakan oleh para sufi merupakan gambaran pengalaman batin mereka dalam melakukan hubungan peribadatan dengan Tuhan. Dengan kata lain, berbicara tentang tasawuf faktor rasa lebih dominan dari pada faktor rasio. Rasio terkadang kurang dapat menangkap ungkapan perasaan.
Pada makalah ini, pemakalah akan membahas corak tasawuf menurut ‘Abd al-Karim al-Jili, mengenai kehidupan al-Jilli, pemikiran al-Jilli tentang Nur Muhammad, konsep insan kamil, zat mutlak, dan jalan (maqamat) menuju insan kamil. Dari makalah ini kita dapat mengetahui serta membedakan pengertian tasawuf menurut al-Jilli dengan pemikiran sufi lain yang agak serupa seperti, Ibnu ‘Arabi, al-Hallaj, dan lain sebagainya.
Tujuh maqamat telah dipaparkan oleh al-Jilli sebagai jalan yang harus ditempuh manusia sebagai upaya pencapaian jati yang sempurna melalui latihan rohani dan pendakian mistik. Ke tujuh maqamat tersebut berbeda dengan maqamat-maqamat yang dikemukakan oleh sufi-sufi yang lain seperti, al-Ghazali, Abu Bakar al-Kalabadzi. Semoga dengan dengan ditulisnya makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan kita dan semoga ilmu yang kita dapatkan bermanfaat bagi diri kita dan bagi orang lain, baik di dunia dan di akhirat.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana riwayat hidup ‘Abd al-Karim al-Jilli?
2.    Apa saja pemikiran yang kemukakan oleh al-Jilli?
3.    Apa yang dimaksud Nur Muhammad, Zat Mutlak, dan Insan Kamili?
4.    Maqam-maqam apa saja yang harus ditempuh manusia untuk mencapai tingkatan Insan Kamil?
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Riwayat Hidup ‘Abd al-Karim al-Jilli
‘Abd al-Karim al-Jilli lahir di Jilli (kawasan Baghdad) pada tahun 767 H/ 1365 M. Beliau sempat belajar di Zabid (Yaman) dengan Syarifuddin Isma’il ibn Ibrahim al-Jabarti dan mengunjungi Kushi (India) pada tahun 790 H. Kitab yang ditulisnya mengenai konsep al-Insan al-Kamil menurutnya ditulis berdasarkan intruksi dari Allah yang diterimanya melalui ilham yang dikenal dengan Mukalamah dan seluruhnya berjalan dengan makna hakiki yang disyari’atkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Selain konsep tersebut ia juga menulis kitab al-Kahf wa al-Raqim fi Syarhi Bismillah al-Rahman al-Rahim sebagai pembelaan terhadap konsep Wahdah al-Wujuh dari Ibnu ‘Arabi.[1]
Dalam hal tasawuf ia merupakan pembela dari yang diwariskan oleh Ibnu ‘Arabi. Sangking gigihnya ia dikenal sebagai muridnya Ibnu ‘Arabi. Padahal dilihat dari tahun kelahirannya, ia tidak mungkin berguru secara langsung kepada Ibnu ‘Arabi karena terpaut sekitar 200 tahun. Jadi, al-Jilli hanya terbatas mempelajari karya-karya Ibnu ‘Arabi.[2]
Sejak usia anak-anak ia telah dibawa bermigrasi oleh orang tuanya dari Baghdad ke Yaman. Hal ini dikarenakan situasi Baghdad dan sekitarnya dikuasai oleh bangsa Mongol serta perekonomian yang tidak stabil dan keganasan Timur Leng. Pada tahun 799 H ia berkumjung ke Mekkah untuk berhaji. Di sini beliau sempat melakukan tukar pikiran dengan Ulama setempat. Empat tahun kemidian ia berkunjung ke Kairo dan Gazzah. Setelah kurang lebih dua tahun di Gazzah ia kembali ke Zabid karena rindu dengan kampung halamannya dan untuk menemui gurunya (al-Jabarti).
Menurut A.J.Arbery Taftazani, Umar Ridla Kahhalah, dan C.Brokleman mencatat bahwa al-Jilli meninggal pada tahun 833 H / 1428 M.[3]

B.  Pemikiran Al-Jilli
1.    Nur Muhammad
Istilah Nur Muhammad (Cahaya Nabi Muhammad) diambil dari atsar ‘Ali ibn Abi Thalib yang diriwayatkan oleh Ja’far Shodiq sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin, ‘Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya ketika Allah SWT hendak menciptakan makhluk dan membuat segala kejadian maka, Dia menegakkan makhluk itu dalam beberapa bentuk seperti, debu sebelum terbentangnya bumi dan terangkatnya langit, sedangkan dia sendiri dalam kekuasaan-Nya. Kemudian Dia memberinya nur dari cahaya-Nya lalu, dia bersinar dan diambil dari sinar-Nya maka, tetap bersinar  lantar sinar itu bekumpul di tengah gambar atau bentuk yang samar, yang kemudian tertuju pada bentuk Nabi Muhammad SAW.
Konsep Nur Muhammad tidak terlepas dari konsep Tajalli Tuhan segala yang ada ini hanya mempunyai satu realitas yaitu wujud mutlak yang bebas dari segenap fikiran, hubungan, arah, dan waktu. Dalam kedaan seperti itu Esensi Mutlak Tuhan tidak dapat diketahui oleh siapapun. Wujud Mutlak bertajalli secara sempurna dapat dilihat (diketahui) pada alam semesta sebagai wujud cerminan penciptaan Tuhan. Akan tetapi Dzat-Nya tidak berbilang (terhitung) dengan berbilangnya wadah tajalli.
Kesempurnaan Insan Kamil merupakan identifikasi dari Hakikat Nur Muhammad. Nur Muhammad mempunyai banyak nama. Ia disebut ruh dan malak jika dikaitkan dengan ketinggian. Demikian pula disebut al-Haqq al-Makhluq bih (alat pencipta), al-Qalam al-A’la (yang tinggi) dan al-Aql al-Awwal (akal pertama), al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) dan al-Amin (yang jujur).[4]
2.    Konsep Insan Kamil
Menurut al-Jilli konsep Insan Kamil ada dua. Pertama Insan Kamil adalah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan yang memiliki sifat-sifat yang baik dan sempurna. Kedua, Insan Kamil adalah anggapan atau keyakinan mengenai yang memiliki sifat mutlak, yang mencakup namanya, sifatnya, dan hakikat atau esensinya.
Manusia yang sempurna (insan kamil) adalah manusia yang berhadapan dengan pencipta sekaligus berhadapan dengan makhluk. Oleh karena itu, ia disebut Qurb (poros) yaitu tempat beredarnya sesuatu dari yang awal hingga akhir. Dia adalah satu untuk selamanya namun memiliki berbagai bentuk dan muncul dalam rupa yang bermacam-macam.
Al-Jilli pernah bertemu dia dalam wujudnya persis seperti gurunya (al-Jabarti) tetapi ia tidak menyadari bahwa ia (syaikh) adalah Nabi yang berwujud al-Jabarti, padahal ia mengetahui bahwa dia (Nabi) adalah Syaikh. Namun ketika ia muncul ia dipanggil dengan nama dalam bentuk tersebut. Nama Muhammad hanya ia terapkan pada “Haqiqat Muhammadiyah”. Adapun perbedaannya dengan yang bertemu lewat mimpi, ia tidak mendapat Haqiqat Muhammadiyah.[5]
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil adalah bagaikan cermin, dimana seseorang tidak akan melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin tersebut (Tuhan). Begitupun sebaliknya Tuhan tidak akan melihat bentuk diri-Nya kecuali melalui cermin tersebut (Insan Kamil). Insan Kamil merupakan pencerminan zat Allah (Nuqtah al-Haqq) melalui proses tajalli dan sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhammad.[6]
3.    Zat Mutlak
Menurut Nicholson al-Jilli menamai zat mutlak yaitu zat yang terbebas dari segala sifat dan hubungan dengan al-asma. Zat mutlak dapat diperoleh melalui tiga taraf yaitu, ahadiyah, huwiyah, dan aniyah. Pada taraf ahadiyah (kesatuan) berkembang secara batini, pada taraf huwiyah (kediaan) dimana yang banyak tenggelam dalam satu, dan pada taraf aniyah (keakuan) dimana yang satu termanifestasi dalam banyak hal.[7]
Zat Mutlak dihubungkan dengan nama dan sifat zatiyahnya, bukan pada wujudnya. Zat Allah tidak dapat dicapai dan tidak dapat dijangkau dengan isyarat apapun kecuali dengan ditempuh melalui jalan Kasyf Ilahi. Kasyf tersebut dapat ditempuh melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
·      Fana dari dirinya sendiri untuk mencapai kehadirat Tuhan.
·      Fana dari Tuhan untuk mencapai rahasia-rahasia Rububiyah
·      Fana dari ketergantungan dari sifat Tuhan berhubungan dengan zat Tuhan.[8]
Pandangan al-Jilli menyatakan bahwaa yang ada ini adalah tunggal, semua perbedaan hakikatnya hanyalah modus, aspek, dan manifestasi fenomental (lahiriyah) dari realitas tunggal tersebut. Allah adalah substansi yang ada ini yang disebut zat mutlak.[9]
4.    Jalan Menuju Insan Kamil
Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi untuk mencapai tingkat insan kamil, yang disebut dengan al-Martabah (jenjang atau tingkatan). Tingkatan maqam-maqam tersebut yaitu:
a.    Islam
Pada maqam ini didasarkan pada 5 pokok atau rukun islam yang tidak hanya dilakukan secara ritual sesuai petunjuk syari’at, akan tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam secara batini.
b.   Iman
Iman yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar islam. Dengan iman tadi alam ghaib terungkap dan membantu pencapaian ke maqam yang lebih tinggi.
c.    Ash-Shalah (kesalihan)
Ash-Shalah adalah ibadah terus menerus kepada Allah dengan perasaan khauf (takut) dan raja’ (berharap). Tujuan ibadah adalah mencapai nuqtah ilahiyah pada lubuk hati sehingga, seorang sufi tetap menaati syari’at meski telah mencapai kasyf.
d.   Ihsan
Ihsan adalah penyaksian efek (atsar) nama dan sifat Tuhan. Dalam ibadah merasa selalu berada di sisi-Nya. Untuk mencapai tingkat ini harus menempuh jalan istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakkal, tafwidh, ridla, dan ikhlas.
e.    Syahadah
Syahadah adalah kemauan (iradah) seorang sufi dengan mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat Allah terus menerus, dan meninggalkan keinginan pribadi.
f.       Shiddiqiyah
Shiddiqiyah adalah gambaran tingkat pencapaian haqiqat ma’rifat yang diperoleh dengan cara bertahap dari ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Pada derajat ini sufi mampu menyaksikan hal-hal yang ghaib (rahasia-rahasia Tuhan) sehingga mengetahui hakikat Tuhan. Setelah mengalami fana’ ia memperoleh baqa’ ilahi.
g.    Qurbah
Sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan sehingga, sedekat mungkin sufi berada di sisi Allah dan terpantul sifat dan nama-Nya secara jelas.[10]

BAB III
KESIMPULAN

‘Abd al-Karim al-Jilli adalah seorang sufi yang berasal Jilli yaitu kawasan Baghdad. Oleh karena itu ia disebut al-Jilli. Ia telah belajar banyak dari ‘ulama-‘ulama. Ia berguru kepada Syarifuddin Isma’il al-Jabarti. Ia banyak menulis kitab tentang tasawuf. ia juga banyak mempelajari karya-karya Ibnu ‘Arabi sehingga, ia banyak pembela ajaran Ibnu ‘Arabi.
Konsep Nur Muhammad (cahaya Nabi Muhammad) tidak terlepas dari wujud mutlak yang bebas dari segala fikiran dan waktu. Adapun manusia yang sempurna (insan kamil) adalah manusia yang berhadapan dengan pencipta sekaligus berhadapan pula dengan makhluk.
Untuk mencapai tingkat insan kamil tidaklah mudah. Oleh karena itu, ‘Abd al-Karim al-Jilli merumuskan tujuh maqamat yang harus ditempuh sebagai upaya dalam pencapaian tingkat insan kamil. Ke tujuh maqamat tersebut yaitu:
1.    Islam
2.    Iman
3.    Ash-shalah
4.    Ihsan
5.    Syahadah
6.    Shiddiqiyah
7.    Qurbah








DAFTAR PUSTAKA

1985. Insan Kamil. Jakarta : PT. Grafisi Pers
Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia
As , Asmaran. 2002. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Jamil, M. 2007 Cakrawala Tasawuft. Jakarta : Gaung Persada Press
Rusli, Ris’an. 2013. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta : Rajawali Press
Suryadilaga, M.Fatih. 2008. Miftahus Sufi. Yogyakarta : Teras
Zuhri, Amat. 2010. Ilmu Tasawuf. Pekalongan : STAIN Pekalongan Press



[1] Asmaran As. Pengantar Studi Tasawuf. Cet.ke-2 (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002) hlm.356-358
[2] M.Fatih Suryadilaga. Miftahus Sufi.  Cet.Ke-1 (Yogyakarta : Teras, 2008) hlm.212-213
[3] Amat Zuhri. Ilmu Tasawuf. Cet.Ke-4 (Pekalongan : STAIN Pekalongan Press, 2010) hlm.139-141
                [4] Amat Zuhri. Op. Cit. hlm.141-145
[5] Insan Kamil. Cet.Ke-1 (Jakarta : PT. Grafisi Pers, 1985) hlm. 110-111
[6] Ris’an Rusli. Tasawuf dan Tarekat. Cet.Ke-1 (Jakarta : Rajawali Press, 2013) hlm. 154-155
[7] Asmaran As. Op. Cit. hlm. 362
[8] Ris’an Rusli. Op. Cit. hlm.151-152
[9] M. Jamil. Cakrawala Tasawuf. Cet.Ke-2 (Jakarta : Gaung Persada Press, 2007) hlm. 114
[10] Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. Cet.Ke-1 (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000) hlm.157-159

Tidak ada komentar:

Posting Komentar