PEMIKIRAN ABD AL-KARIM AL-JILLI
TENTANG INSAN KAMIL
Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Amat Zuhri, M.Ag
Kelas : M Reguler Sore
Disusun oleh:
Kelompok 9
Kikki Faradila Putri 2021214470
Wahyudin 2021214477
Sumiyati Karim 2021214483
M. Yusuf Azhari 2021214486
JURUSAN
TARBIYAH PRODI PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengertian tasawuf dalam terminologi sangat beragam. Keberagaman
pengertian tasawuf tersebut dikarenakan pengertian yang dikemukakan oleh para
sufi merupakan gambaran pengalaman batin mereka dalam melakukan hubungan peribadatan
dengan Tuhan. Dengan kata lain, berbicara tentang tasawuf faktor rasa lebih
dominan dari pada faktor rasio. Rasio terkadang kurang dapat menangkap ungkapan
perasaan.
Pada makalah ini, pemakalah akan membahas corak tasawuf menurut ‘Abd
al-Karim al-Jili, mengenai kehidupan al-Jilli, pemikiran al-Jilli tentang Nur
Muhammad, konsep insan kamil, zat mutlak, dan jalan (maqamat) menuju insan
kamil. Dari makalah ini kita dapat mengetahui serta membedakan pengertian
tasawuf menurut al-Jilli dengan pemikiran sufi lain yang agak serupa seperti,
Ibnu ‘Arabi, al-Hallaj, dan lain sebagainya.
Tujuh maqamat telah dipaparkan oleh al-Jilli sebagai jalan yang harus
ditempuh manusia sebagai upaya pencapaian jati yang sempurna melalui latihan
rohani dan pendakian mistik. Ke tujuh maqamat tersebut berbeda dengan
maqamat-maqamat yang dikemukakan oleh sufi-sufi yang lain seperti, al-Ghazali,
Abu Bakar al-Kalabadzi. Semoga dengan dengan ditulisnya makalah ini dapat menambah
wawasan keilmuan kita dan semoga ilmu yang kita dapatkan bermanfaat bagi diri
kita dan bagi orang lain, baik di dunia dan di akhirat.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup ‘Abd al-Karim al-Jilli?
2.
Apa saja pemikiran yang kemukakan oleh al-Jilli?
3.
Apa yang dimaksud Nur Muhammad, Zat Mutlak, dan
Insan Kamili?
4.
Maqam-maqam apa saja yang harus ditempuh manusia
untuk mencapai tingkatan Insan Kamil?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup ‘Abd al-Karim al-Jilli
‘Abd
al-Karim al-Jilli lahir di Jilli (kawasan
Baghdad) pada tahun 767 H/ 1365 M. Beliau sempat belajar di Zabid (Yaman)
dengan Syarifuddin Isma’il ibn
Ibrahim al-Jabarti dan
mengunjungi Kushi (India) pada tahun 790 H. Kitab yang ditulisnya mengenai
konsep al-Insan al-Kamil menurutnya
ditulis berdasarkan intruksi dari Allah yang diterimanya melalui ilham yang
dikenal dengan Mukalamah dan
seluruhnya berjalan dengan makna hakiki yang disyari’atkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Selain konsep
tersebut ia juga menulis kitab al-Kahf wa
al-Raqim fi Syarhi
Bismillah al-Rahman al-Rahim sebagai pembelaan
terhadap konsep Wahdah al-Wujuh dari
Ibnu ‘Arabi.[1]
Dalam hal tasawuf ia merupakan pembela dari yang
diwariskan oleh Ibnu ‘Arabi. Sangking gigihnya ia dikenal sebagai muridnya Ibnu
‘Arabi. Padahal dilihat dari tahun kelahirannya, ia tidak mungkin berguru
secara langsung kepada Ibnu ‘Arabi karena terpaut sekitar 200 tahun. Jadi,
al-Jilli hanya terbatas mempelajari karya-karya Ibnu ‘Arabi.[2]
Sejak usia anak-anak ia telah dibawa bermigrasi oleh
orang tuanya dari Baghdad ke Yaman. Hal ini dikarenakan situasi Baghdad dan
sekitarnya dikuasai oleh bangsa Mongol serta perekonomian yang tidak stabil dan
keganasan Timur Leng. Pada tahun 799 H ia berkumjung ke Mekkah untuk berhaji.
Di sini beliau sempat melakukan tukar pikiran dengan Ulama setempat. Empat
tahun kemidian ia berkunjung ke Kairo dan Gazzah. Setelah kurang lebih dua
tahun di Gazzah ia kembali ke Zabid karena rindu dengan kampung halamannya dan untuk
menemui gurunya (al-Jabarti).
Menurut A.J.Arbery Taftazani, Umar Ridla Kahhalah, dan
C.Brokleman mencatat bahwa al-Jilli meninggal pada tahun 833 H / 1428 M.[3]
B. Pemikiran Al-Jilli
1. Nur Muhammad
Istilah
Nur Muhammad (Cahaya Nabi Muhammad)
diambil dari atsar ‘Ali ibn Abi Thalib yang
diriwayatkan oleh Ja’far Shodiq sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin, ‘Ali ibn
Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya ketika Allah SWT hendak menciptakan makhluk
dan membuat segala kejadian maka, Dia menegakkan makhluk itu dalam beberapa
bentuk seperti, debu sebelum terbentangnya bumi dan terangkatnya langit,
sedangkan dia sendiri dalam kekuasaan-Nya. Kemudian Dia memberinya nur dari cahaya-Nya lalu, dia bersinar
dan diambil dari sinar-Nya maka, tetap bersinar lantar sinar itu bekumpul di tengah gambar
atau bentuk yang samar, yang kemudian tertuju pada bentuk Nabi Muhammad SAW.
Konsep
Nur Muhammad tidak terlepas dari konsep Tajalli
Tuhan segala yang ada ini hanya mempunyai satu realitas yaitu wujud mutlak yang
bebas dari segenap fikiran, hubungan, arah, dan waktu. Dalam kedaan seperti itu Esensi Mutlak Tuhan tidak dapat
diketahui oleh siapapun. Wujud Mutlak bertajalli
secara sempurna dapat dilihat (diketahui) pada alam semesta sebagai wujud
cerminan penciptaan Tuhan. Akan tetapi Dzat-Nya tidak berbilang (terhitung)
dengan berbilangnya wadah tajalli.
Kesempurnaan Insan Kamil merupakan identifikasi dari Hakikat Nur Muhammad.
Nur Muhammad mempunyai banyak nama. Ia disebut ruh dan malak jika
dikaitkan dengan ketinggian. Demikian pula disebut al-Haqq al-Makhluq bih (alat pencipta), al-Qalam al-A’la (yang tinggi) dan al-Aql al-Awwal (akal pertama), al-Ruh
al-Ilahi (ruh ketuhanan) dan al-Amin
(yang jujur).[4]
2. Konsep Insan Kamil
Menurut al-Jilli konsep Insan Kamil ada dua.
Pertama Insan Kamil adalah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan
mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan yang memiliki sifat-sifat
yang baik dan sempurna. Kedua, Insan Kamil adalah anggapan atau keyakinan
mengenai yang memiliki sifat mutlak, yang mencakup namanya, sifatnya, dan
hakikat atau esensinya.
Manusia yang sempurna (insan kamil) adalah
manusia yang berhadapan dengan pencipta sekaligus berhadapan dengan makhluk.
Oleh karena itu, ia disebut Qurb
(poros) yaitu tempat beredarnya sesuatu dari yang awal hingga akhir. Dia adalah
satu untuk selamanya namun memiliki berbagai bentuk dan muncul dalam rupa yang
bermacam-macam.
Al-Jilli pernah bertemu dia dalam wujudnya persis
seperti gurunya (al-Jabarti) tetapi ia tidak menyadari bahwa ia (syaikh) adalah
Nabi yang berwujud al-Jabarti, padahal ia mengetahui bahwa dia (Nabi) adalah
Syaikh. Namun ketika ia muncul ia dipanggil dengan nama dalam bentuk tersebut.
Nama Muhammad hanya ia terapkan pada “Haqiqat
Muhammadiyah”. Adapun perbedaannya dengan yang bertemu lewat mimpi, ia
tidak mendapat Haqiqat Muhammadiyah.[5]
Perumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil
adalah bagaikan cermin, dimana seseorang tidak akan melihat bentuk dirinya
kecuali melalui cermin tersebut (Tuhan). Begitupun sebaliknya Tuhan tidak akan
melihat bentuk diri-Nya kecuali melalui cermin tersebut (Insan Kamil). Insan
Kamil merupakan pencerminan zat Allah (Nuqtah
al-Haqq) melalui proses tajalli
dan sekaligus sebagai proses maujudat
yang terhimpun dalam diri Muhammad.[6]
3. Zat Mutlak
Menurut Nicholson al-Jilli menamai zat mutlak
yaitu zat yang terbebas dari segala sifat dan hubungan dengan al-asma. Zat mutlak dapat diperoleh melalui
tiga taraf yaitu, ahadiyah, huwiyah, dan aniyah. Pada taraf ahadiyah (kesatuan) berkembang secara batini, pada taraf huwiyah (kediaan) dimana yang banyak
tenggelam dalam satu, dan pada taraf aniyah
(keakuan) dimana yang satu termanifestasi dalam banyak hal.[7]
Zat Mutlak dihubungkan dengan nama dan sifat
zatiyahnya, bukan pada wujudnya. Zat Allah tidak dapat dicapai dan tidak dapat
dijangkau dengan isyarat apapun kecuali dengan ditempuh melalui jalan Kasyf Ilahi. Kasyf tersebut dapat
ditempuh melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
·
Fana dari dirinya sendiri untuk mencapai
kehadirat Tuhan.
·
Fana dari Tuhan untuk mencapai rahasia-rahasia
Rububiyah
·
Fana dari ketergantungan dari sifat Tuhan
berhubungan dengan zat Tuhan.[8]
Pandangan al-Jilli menyatakan bahwaa yang ada ini
adalah tunggal, semua perbedaan hakikatnya hanyalah modus, aspek, dan
manifestasi fenomental (lahiriyah) dari realitas tunggal tersebut. Allah adalah
substansi yang ada ini yang disebut zat mutlak.[9]
4. Jalan Menuju Insan Kamil
Al-Jilli merumuskan beberapa maqam yang harus
dilalui oleh seorang sufi untuk mencapai tingkat insan kamil, yang disebut
dengan al-Martabah (jenjang atau
tingkatan). Tingkatan maqam-maqam tersebut yaitu:
a. Islam
Pada maqam ini didasarkan pada 5 pokok atau rukun
islam yang tidak hanya dilakukan secara ritual sesuai petunjuk syari’at, akan
tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam secara batini.
b. Iman
Iman yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan
akan rukun iman dan melaksanakan dasar-dasar islam. Dengan iman tadi alam ghaib
terungkap dan membantu pencapaian ke maqam yang lebih tinggi.
c. Ash-Shalah (kesalihan)
Ash-Shalah adalah ibadah terus menerus kepada
Allah dengan perasaan khauf (takut)
dan raja’ (berharap). Tujuan ibadah adalah
mencapai nuqtah ilahiyah pada lubuk
hati sehingga, seorang sufi tetap menaati syari’at meski telah mencapai kasyf.
d. Ihsan
Ihsan adalah penyaksian efek (atsar) nama dan sifat Tuhan. Dalam
ibadah merasa selalu berada di sisi-Nya. Untuk mencapai tingkat ini harus
menempuh jalan istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakkal, tafwidh, ridla,
dan ikhlas.
e. Syahadah
Syahadah adalah kemauan (iradah) seorang sufi dengan mahabbah
kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat Allah terus menerus, dan meninggalkan
keinginan pribadi.
f. Shiddiqiyah
Shiddiqiyah adalah gambaran tingkat pencapaian haqiqat ma’rifat yang diperoleh dengan
cara bertahap dari ilm al-yaqin, ‘ain
al-yaqin, haqq al-yaqin. Pada derajat ini sufi mampu menyaksikan hal-hal
yang ghaib (rahasia-rahasia Tuhan) sehingga mengetahui hakikat Tuhan. Setelah
mengalami fana’ ia memperoleh baqa’ ilahi.
g. Qurbah
Sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama
yang mendekati sifat dan nama Tuhan sehingga, sedekat mungkin sufi berada di
sisi Allah dan terpantul sifat dan nama-Nya secara jelas.[10]
BAB III
KESIMPULAN
‘Abd al-Karim al-Jilli adalah seorang sufi yang berasal Jilli yaitu
kawasan Baghdad. Oleh karena itu ia disebut al-Jilli. Ia telah belajar banyak
dari ‘ulama-‘ulama. Ia berguru kepada Syarifuddin Isma’il al-Jabarti. Ia banyak
menulis kitab tentang tasawuf. ia juga banyak mempelajari karya-karya Ibnu
‘Arabi sehingga, ia banyak pembela ajaran Ibnu ‘Arabi.
Konsep Nur Muhammad (cahaya Nabi Muhammad) tidak terlepas dari wujud
mutlak yang bebas dari segala fikiran dan waktu. Adapun manusia yang sempurna
(insan kamil) adalah manusia yang berhadapan dengan pencipta sekaligus
berhadapan pula dengan makhluk.
Untuk mencapai tingkat insan kamil tidaklah mudah. Oleh karena itu, ‘Abd
al-Karim al-Jilli merumuskan tujuh maqamat yang harus ditempuh sebagai upaya
dalam pencapaian tingkat insan kamil. Ke tujuh maqamat tersebut yaitu:
1.
Islam
2.
Iman
3.
Ash-shalah
4.
Ihsan
5.
Syahadah
6.
Shiddiqiyah
7.
Qurbah
DAFTAR PUSTAKA
1985. Insan Kamil. Jakarta : PT. Grafisi
Pers
Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tasawuf.
Bandung : CV Pustaka Setia
As , Asmaran. 2002. Pengantar
Studi Tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Jamil, M. 2007
Cakrawala Tasawuft. Jakarta : Gaung
Persada Press
Rusli, Ris’an. 2013. Tasawuf
dan Tarekat. Jakarta : Rajawali Press
Suryadilaga, M.Fatih. 2008. Miftahus Sufi. Yogyakarta : Teras
Zuhri, Amat. 2010. Ilmu
Tasawuf. Pekalongan : STAIN Pekalongan Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar