Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Psikologi Agama
Dosen
Pengampu : Drs. H. Rozikin Daman, M.Ag
Kelas
: M Reguler Sore
Disusun
oleh :
Kelompok
2
Nur Khamidah 2021214447
Alif Fathu Rizal 2021214482
M. Yusuf Azhari 2021214486
JURUSAN
TARBIYAH PRODI PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan manusia dalam keadaan
fitrah yang dibekali beberapa potensi yakni potensi yang ada dalam jasmani.
Bekal yang dimiliki manusia tidak hanya berupa asupan positif. Dalam diri manusia
tercipta satu potensi juga yang diberi nama hawa nafsu. Hawa nafsu sering
membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka
bumi ini. Untuk itu manusia perlu mengembangkan asupan positif yang ada dalam
dirinya untuk mencapai fitrah tersebut.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah untuk
mengemban tugas sebagai khalifah dan Abdullah. Untuk mengaktualisasikan kedua
tugas tersebut manusia dibekali dengan potensi-potensi yang berupa ruh,
nafs, aqal, dan qalb seperti yang dibahas oleh pemakalah sebelumnya.
Pembahasan kali ini mengenai fitrah dan potensi beragama yang akan mengupas dan
menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan keduanya. Yang nantinya diharapkan agar dengan penjelasan tersebut
kita menjadi paham dan dapat mengambil hikmah di dalamnya.
Pada diri manusia terdapat keinginan untuk
mengabdikan dirinya kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggapnya sebagai zat yang
mempunyai kekuasaan tertinggi. Keinginan itu terdapat pada setiap kelompok,
golongan, atau masyarakat manusia dari yang paling primitif hingga yang paling
modern.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja macam-macam kebutuhan manusia?
2.
Mengapa fitrah manusia dikaitkan dalam beragama?
3.
Apa saja teori-teori mengenai sumber jiwa beragama?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Macam-macam Kebutuhan Manusia
Menurut
Jalaluddin dan Ramayulius, hampir seluruh ahli psikologi berpendapat bahwa
keinginan dan kebutuhan manusia tidak hanya terbatas pada kebutuhan makan,
minum, pakaian, maupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil riset
dan observasi, dalam diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang
bersifat universal dan melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Kebutuhan tersebut
merupakan kebutuhan kodrati, berupa keinginan untuk mencinta dan dicintai
Tuhan, yakni kebutuhan terhadap agama. Kebutuhan ini disebut fitrah manusia.
Oleh karena itu kebutuhan terhadap agama telah ada sejak manusia lahir, dari
zaman primitif, yakni awal penciptaan manusia yaitu Nabi Adam AS hingga zaman
sekarang.[1]
Sebelum
kita membahas kebutuhan manusia yang bersifat kodrati ini, terlebih dahulu kita
akan membahas macam-macam kebutuhan manusia.
1. Kebutuhan Individu
Menurut
Zakiah Darajat dalam bukunya “Peranan Agama dalam Kesehatan Mental”
kebutuhan manusia dibagi atas dua kebutuhan pokok, antara lain[2]
:
1) Kebutuhan
Primer
Selain
kebutuhan makan, minum, tidur, dan lain sebagainya, kebutuhan primer manusia
meliputi :
a) Kebutuhan
seks
b) Kebutuhan
perlindungan dan keselamatan
c) Kebutuhan
pencegahan
d) Kebutuhan
ingin tahu
e) Kebutuhan
humor[3]
2) Kebutuhan
Sekunder
a) Kebutuhan
rasa kasih sayang
b) Kebutuhan
rasa aman
c) Kebutuhan
rasa harga diri
d) Kebutuhan
rasa bebas
e) Kebutuhan
sukses
f) Kebutuhan
rasa ingin tahu[4]
2. Kebutuhan Sosial
1) Pujian
dan kritikan
2) Kekuasaan
dan mengalah
3) Pergaulan
4) Imitasi
dan simpati
5) Perhatian[5]
3. Kebutuhan Terhadap Agama
Agama
merupakan sifat manusia yang tidak dapat dipisahkan dari manusia itu sendiri.
Dari sejarah keagamaan telah terbukti bahwa manusia sejak zaman Nabi Adam
sampai sekarang ini walau dalam kualitas yang berbeda-beda senantiasa terkait
dengan kepercayaan kepada sesuatu yang ghaib yang dipandang mempunyai pengaruh
terhadap kehidupan, bahkan dalam tingkat yang tertinggi diyakini sebagai tempat
mempertaruhkan kehidupan.[6]
Dr.
Howard Clinebell mengemukakan sembilan buah kebutuhan dasar spiritual manusia
yaitu :
1) Kebutuhan
kepercayaan dasar bahwa hidup ini adalah ibadah
2) Kebutuhan
makna hidup, tujuan hidup dalam membangun hubungan yang selaras, serasi, dan
seimbang dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.
3) Kebutuhan
komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian.
4) Kebutuhan
pengisian keimanan.
5) Kebutuhan
bebas dari rasa bersalah dan berdosa.
6) Kebutuhan
penerimaan diri dan harga diri.
7) Kebutuhan
rasa aman, terjamin dari keselamatan terhadap harapan masa depan.
8) Kebutuhan
terpelihara interaksi dengan alam dan sesama manusia.
9) Kebutuhan
kehidupan bermasyarakat dengan nilai-nilai religius.[7]
Ahmad
Yunani mengemukakan bahwa tatkala Allah memberikan nikmat berfikir dan daya
penelitian, diberi pula rasa bingung, bimbang, dan takut dalam belajar memahami
dan mengenali alam. Sehingga mendorong untuk mencari-cari suatu kekuatan yang
dapat menolong dan melindunginya. Dengan demikian berangsurnya waktu maka
timbullah beberapa kegiatan penyembahan terhadap benda-benda yang diyakini
mempunyai kekuatan. Jadi, ada suatu dorongan yang menyebabkan manusia cenderung
untuk mengakui adanya suatu zat yang kodrati. Manusia akan senantiasa terdorong
ke arah perbuatan dengan memperagakan diri dalam bentuk pengabdian kepada Dzat
Yang Maha Tinggi.[8]
B. Kebutuhan Terhadap Agama Islam Sebagai Fitrah
Manusia
Dalam
kamus Bahasa Indonesia Fitrah diartikan “kembali ke suci”.[9]
Menurut ajaran agama islam fitrah berarti kecenderungan terhadap agama islam.
Kata fitrah juga disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”(QS.Ar-Rum ayat 30).[10]
Adapun yang
dimaksud Fitrah Allah yaitu ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai
naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid,
maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran
pengaruh lingkungan.
[11]
Mushthafa
Al-Maraghi menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:
“Tetaplah pada
tabiat yang telah ditetapkan oleh Allah pada diri manusia, maka Allah
menjadikan fitrah mereka itu cenderung kepada tauhid itu sendiri dengan
petunjuk yang benar dan berasal dan akal.” Menurut Mushthafa Al-Maraghi
fitrah berarti kesanggupan menerima kebenaran. Secara fitri manusia lahir
cenderung berusaha mencari dan menerima kebenaran. Akan tetapi adakalanya
faktor eksternal dapat mempengaruhi sehingga manusia berpaling dari kebenaran.
Dengan demikian tujuan hidup manusia adalah dari, oleh, dan, untuk kebenaran
mutlak.[12]
Dalam
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Seseorang tidak dilahirkan
kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikan Yahudi,
Nasrani, dan Majusi.” Menurut Ibnu Taimiyah kata fitrah di atas
memiliki makna al-islam. Menurut Syaikh Tantawi Jauhari, manusia lahir
bagaikan lembaran kosong yang siap menerima stimulan yang baik maupun yang
jahat, secara alamiah cenderung menerima yang baik. Adapun timbulnya dari luar
karena faktor eksternal. Fitrah ini kemudian menjadi suatu karakter yang baik
yang berkembang menuju kesempurnaan.[13]
C. Teori-teori Jiwa Beragama
1. Teori Monistik
Menurut
teori ini sumber kejiwaaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Para ahli yang
mengemukakan demikian berbeda pendapat dalam menentukan sumber tunggal manakah
yang paling dominan. Berikut pendapat para ahli :
1) Thomas
Van Aquino berpendapat bahwa berfikir adalah sumber kejiwaan agama
2) Fredick
Hegel hampir sama dengan Thomas Van Aquino, hanya saja ia juga mengatakan agama
adalah pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi.
3) Fredick
Schleimacher mengatakan rasa ketergantungan yang mutlak adalah sumber
keagamaan.
4) Rudolf
Otto berpendapat bahwa sumber kejiwaan
agama adalah rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggapnya lain dari yang lain.
5) Sigmund
Frend berpendapat naluri seksual adalah unsur kejiwaan yang menjadi sumber
kejiwaan agama.
6) William
Mac Dougall mengatakan bahwa sumber kejiwaan agama merupakan kumpulan dari
beberapa insting.[14]
2. Teori Fakulti
Teori
ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia (termasuk yang bersifat keagamaan)
bersumber atas beberapa unsur yang dianggap memegang peranan penting yaitu
cipta, rasa, dan karsa.[15]
1) Cipta
Cipta
merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Contoh pengaruh dari fungsi cipta
ini yaitu ilmu kalam. Unsur ini mengutamakan kemampuan berfikir yang sehat dan masuk akal. Fungsi
cipta yaitu berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama
berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.[16]
2) Rasa
Rasa
merupakan suatu tenaga dalam jiwa manusia yang banyak berperan dalam membentuk
motivasi dalam corak tingkah laku seseorang. Gunanya adalah untuk memberi makna
dalam kehidupan beragama dengan melalui penghayatan yang seksama dan mendalam
sehingga ajaran itu tampak hidup. Sedangkan fungsinya yaitu menimbulkan sikap
batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.[17]
3) Karsa
Karsa
merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Karsa berfungsi mendorong
timbulnya pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan.[18]
Adapun beberapa pendapat teori fakulti antara lain :
a)
G.M. Straton
mengatakan yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah konflik, yaitu keadaan
yang berlawanan. Konflik kejiwaan yang mendasar yaitu :
· Life-urge
ialah keinginan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dari keadaan terdahulu
agar terus berlanjut.
· Death-urge
ialah keinginan untuk kembali ke keadaan semula sebagai benda mati. Keinginan
ini timbul didorong oleh ketakutan akan hari akhirat.[19]
b)
Zakiah Daradjat
Seperti
yang telah dipaparkan di atas, bahwa selain kebutuhan jasmani dan kebutuhan
rohani manusia mempunyai kebutuhan pokok. Kebutuhan tersebut yaitu kebutuhan
keseimbangan dalam kehidupan jiwanya agar tidak mengalami tekanan. Unsur
kebutuhan yang dimaksud telah disebutkan di atas pada point kebutuhan sekunder.
Keenam kebutuhan tersebut menyebabkan orang memerlukan agama.[20]
c)
W.H. Thomas
Menurut
W.H. Thomas yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah empat macam keinginan
dasar yang ada dalam jiwa manusia yaitu :
· Keinginan
untuk keselamatan
· Keinginan
untuk mendapatkan penghargaan
· Keinginan
untuk ditanggapi
· Keinginan
akan pengetahuan atau pengalaman baru[21]
BAB III
KESIMPULAN
Keinginan
dan kebutuhan manusia tidak hanya terbatas pada kebutuhan makan, minum, pakaian,
maupun kenikmatan-kenikmatan lainnya. Berdasarkan hasil riset dan observasi,
dalam diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat
universal dan melebihi kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Menurut
Ibnu Taimiyah kata fitrah dalam hadits Nabi yang disebutkan di atas memiliki
makna al-islam. Menurut Syaikh Tantawi Jauhari, manusia lahir bagaikan
lembaran kosong yang siap menerima stimulan yang baik maupun yang jahat, secara
alamiah cenderung menerima yang baik. Adapun timbulnya dari luar karena faktor
eksternal.
Yang dimaksud
Fitrah Allah dalam Q.S Ar-Ruum ayat 30 yaitu ciptaan Allah. Manusia diciptakan
Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu
hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.
Teori Monistik mengatakan bahwa
sumber kejiwaaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Para ahli yang mengemukakan
demikian berbeda pendapat dalam menentukan sumber tunggal manakah yang paling
dominan.
Teori Fakulti berpendapat bahwa
tingkah laku manusia (termasuk yang bersifat keagamaan) bersumber atas beberapa
unsur yang dianggap memegang peranan penting yaitu cipta, rasa, dan karsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Bambang Syamsul. 2008. Psikologi Agama. Bandung : Pustaka Setia
Ramayulis.
2002. Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia
Ws,
Indrawan. Tanpa Tahun. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jombang : Lintas
Media
Departemen Agama RI. 2013. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Bandung : CV Penerbit Diponegoro
Jalaluddin.
2001. Psikologi Agama. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada
[1] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi
Agama, Cet. Ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 2008) Hlm. 37
[2]
Ramayulis, Psikologi
Agama, Cet. Ke-10, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002) Hlm. 26
[3]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm.
26-30
[4]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm.
30-32
[5]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm.
32-33
[6]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm.
33
[7]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm.
34
[8]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm.
34
[9] Indrawan Ws, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, ( Jombang : Lintas Media, Tanpa Tahun) Hlm. 160
[10]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm,
35-36
[11]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Cet. Ke-10 ( Bandung : CV Penerbit Diponegoro, 2013) Hlm. 325 dan 505
[12]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm.
36
[13]
Ramayulis, Op.Cit, Hlm,
37-38
[14] Jalaluddin, Psikologi Agama,
Cet. Ke-5 ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001) Hlm. 54-56
[15] Jalaluddin, Op.Cit. Hlm.
56
[16] Jalaluddin, Op.Cit. Hlm.
57-58
[17] Jalaluddin, Op.Cit.
[18] Jalaluddin, Op.Cit. Hlm.
58
[19] Jalaluddin, Op.Cit. Hlm.
59-60
[20] Jalaluddin, Op.Cit. Hlm.
60-62
[21] Jalaluddin, Op.Cit. Hlm.
62-63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar